Senin, 17 September 2012

Kolom Juara R. Ginting: Perlajangen



Taneh Karo terdiri dari Karo Gugung dan Karo Jahé. Karo Gugung terbagi ke Karo Julu, Karo Berneh, Karo Gunung-gunung, Karo Singalorlau, dan Karo Baluren. Karo Jahé terbagi ke Karo Sinuan Bunga dan Karo Sinuan Gamber.
Pembagian Taneh Karo ke Karo Gugung dan Karo Jahé cukup unik. Dalam banyak kepustakaan Inggris, Karo Gugung diterjemahkan Karo Highlands, sedangkan di kepustakaan Indonesia disebut Dataran Tinggi Karo. Kedua terjemahan Inggris dan Indonesia ini sangat dipengaruhi kepustakaan Belanda yang menterjemahkan Karo Gugung dengan Karo Hoogvlaakte.Terjemahan-terjemahan itu tepat karena gugung artinya dataran tinggi (highland dalam bahasa Inggris dan hoogvlaakte dalam bahasa Belanda). Persoalan terjadi ketika kepustakaan Inggris menyebut Karo Jahé dengan Karo Lowlands dan kepustakaan Indonesia dengan Dataran Rendah Karo. Adapun kepustakaan Belanda biasanya menyebut Karo Jahé dengan Karo Doesoen.
Sebenarnya sangat mengejutkan melihat kenyataan bahwa termasuk tulisan-tulisan antropolog menterjemahkan Karo Jahé denganKaro Lowlands atau Dataran Rendah Karo. Soalnya, jahé artinya bukan dataran rendah, tapi hilir. Kalau mau mengikut jalan pikiran Karo  yang tersirat dalam kata jahé, Karo Jahé seharusnya dalam bahasa Inggris disebut Downstream Karo dan dalam bahasa Indonesia Karo Hilir. Bukan Karo Jahé melainkan Karo Berneh yang pantas disebut Karo Lowlands atau Dataran Rendah Karo.
Kesalahan terjemahan seperti ini dapat ditelusuri ke perbedaan cara mengklafikasi wilayah. Klasifikasi Barat (yang asalnya adalah Eropah) biasanya membandingkan hal-hal sebanding (parable). Kiri, misalnya, sebanding dengan kanan, atas dengan bawah, dan tinggi dengan rendah. Lain halnya dengan Karo, Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) dibandingkan dengan Karo Jahé (Karo Hilir). Uniknya lagi, Karo Berneh (Dataran Rendah Karo) terletak di, dan menjadi bagian, Karo Gugung.
Mudah dan cepat sekali kita biasanya mengatakan klasifikasi Karo tidak logis tanpa berusaha menemukan logika apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya (karena kita sudah dididik untuk menganggap kebudayaan Barat lebih tinggi, dan lebih logis, dari kebudayaan sendiri).
Padahal, kesalahan terjemahan bisa berakibat fatal. Kelihatan masih berakar pada cara berpikir setempat padahal sudah jauh sekali lari dari pikiran setempat dan kadang malahan menghancurkan masyarakat setempat. Demikian terjadi dalam kepustakaan Belanda yang mengakibatkan Taneh Karo menjadi hanya Karo Gugung.
Orang-orang Karo memandang Karo Gugung sebagai taneh kemulihen dan Karo Jahé sebagai taneh perlajangen. Dalam tulisan-tulisan masa kolonial, taneh kemulihen diterjemahkan dengan ‘daerah asal’ dan taneh perlajangen dengan daerah rantau atau daerah penyebaran. Dengan terjemahan seperti ini, Karo Gugung ditetapkan sebagai wilayah asli orang Karo dan Karo Jahé sebagai daerah penyebarannya. Cocok sekali dengan klaim Sultan Deli yang mengatakan kepada pihak Belanda bahwa orang-orang Karo adalah pendatang di wilayah Deli.
Benarkah kemulihen artinya asal? Kemulihen berkatadasar mulih yang artinya pulang. Sekilas, kemulihen kelihatan berarti asal.
Mari kita pindah sejenak ke kata perlajangen. Kata ini berdasar pada lajang. Apa artinya lajangLajang artinya sedang tidak dalam ikatan sosial rumah (baca: rumah adat Karo). Seseorang yang bermalam di gubuknya di luar rumah kuta (pemukiman induk sebuah kampung) adalah lajang. Apakah seorang penduduk Kampung X yang bermalam di gubuknya yang terletak di Kampung X itu dapat dikatakan sedang merantau? Tidak. Berarti lajang tidak sama dengan merantau, dan taneh perlajangen bukan daerah rantau.
Bila perlajangen lawan katanya adalah kemulihen, sudah jelas bahwa pembagian Taneh Karo ke Taneh Perlajangen (Karo Jahé) dan Taneh Kemulihen (Karo Gugung) tidak dapat diterjemahkan menjadi Daerah Rantau dan Daerah Asal. Orang-orang Karo yang tinggal di Karo Jahé (Serdang Hulu, Deli Hulu dan Langkat Hulu) bukanlah perantau, tapi orang-orang Karo yang sedangngelajangken bana, dan, ngelajangken bana adalah berada di luar rumah kuta.
Kampung Karo (kuta) terdiri dari rumah kuta (kemulihen) dan daraten bidé kuta (ingan lajang). Maka, Karo Jahé dan Karo Gugung adalah sama dengan satu kampung Karo atau, dengan kata lain, kampung-kampung tradisional Karo di Karo Jahé adalah bagian Taneh Karo bukan tempat penyebaran orang Karo.
Kesimpulan, Karo Jahé adalah Taneh Karo.

Foto: Lukisan karya Novy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar