Sabtu, 08 September 2012

Karo Swedia Berkunjung ke Dubes RI di Helsinki


M.U. GINTING. HELSINKI.Tidak disangka-sangka tau-tau muncul seorang Dubes RI di Finlandia, seorang yang bermerga dari daerah Karo, yaitu Elias Ginting. Dari merganya pastilah beliau dari suku Karo, satu daerah di Sumut dengan kota turis Berastagi yang sudah banyak dikenal termasuk di mancanegara. Tidak jauh bedanya dari etnis-etnis lain bahwa keberhasilan seorang putra daerah bukan hanya jadi kebanggaan bagi satu negeri, tapi juga bagi daerah asal usulnya sangat membawa kesan yang membanggakan. Kesan begini terutama terlihat dalam era ethnic revival dunia dan menjadi suatu tradisi berpikir kultural mengikuti perkembangan cultural revival dunia.






Dalam mencari dan menuju satu Dubes RI yang bermerga Ginting di satu negeri Eropah,  beberapa keluarga Karo dari Swedia naik kapal ke Helsinki, Finlandia. Keluarga Lina br Barus/Rolf Strömberg dari Stockholm, keluarga Rosalina br Purba/Ronny Eklund dari Västerås, keluarga MU Ginting/Rosa Arnevill dari Göteborg dan Dr. Elieser Tarigan dari UBAYA Surabaya. Semua dengan hati senang dan bangga akan menemui seorang putra Karo yang sudah berhasil menjadi utusan dan perwakilan seluruh rakyat Indonesia untuk negeri Finlandia dan Estonia.
Begitu keluar dari kapal Serenade (a two-night cruise Stockholm-Helsinki), di depan gerbang ternyata sudah menunggu Bapak Dubes kita, menyambut kedatangan kami dari Stockholm dengan gembira dan sangat ramah dengan sopan-santun Karonya.

         
Saya memperhatikan sopan-santun dan keluasan, keramahan dan kegesitannya secara daerah maupun secara nasional ketika bertemu terakhir 4-5 tahun lalu di Belanda. Sampai sekarang juga masih tetap tidak berubah. Dalam hati saya berkata, ”ternyata kekaroannya masih tetap dia pertahankan”. Begitulah saya memperhatikan dan menilai orang-orang dari daerah Karo pada umumnya. Juga orang Karo adalah orang-orang daerah yang sangat nasionalis-patriotis dan juga sangat internasionalis. Tidak heran juga kalau daerah Karo sejak perang dan sampai sekarang adalah daerah dominasi partai nasionalis Soekarno. Dan Soekarno mereka namakan ”Bapa Rayat Sirulo”, artinya Bapak dari Rakyat Banyak. Karena perjuangan dan pengorbanannya sangat banyak dalam perang kemerdekaan, Wakil Presiden Muhamad Hatta dalam suratnya 1948 kepada rakyat Karo menyebut rakyat Karo sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan, lih: http://poemetpeinture-artikelnmb.blogspot.se/2012/04/tanah-karo-kota-pahlawan-tanah-karo.html

Dubes Elias Ginting dalam kata sambutannya di depan Presiden Finlandia ketika penyerahan surat kepercayaan mengatakan, hubungan yang selama ini sudah baik antara kedua ngara akan ditingkatkan di segala bidang sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh rakyat kedua negara. Presiden Finlandia Niinistö menyambut dan menyatakan Finlandia memandang Indonesia sebagai mitra kerjasama ekonomi Finlandia di masa depan, khususnya di bidang industri dan perdagangan. Kita mengharapkan keberhasilan dan sukses sebesarnya bagi Pak Dubes Elias Ginting dalam tugasnya yang cukup berat agar rakyat Indonesia bisa ikut menikmati hasilnya.

Dalam obrolan kedai kopi dengan Pak Dubes, dia mengatakan kerinduannya akan  ”guro-guro aron”, semacam pesta tahunan atau pesta panen yang biasa diadakan di daerah Karo sehabis panen padi. Di Eropah sering juga diadakan di Belanda. Guro-guro Aron adalah pesta bagi seluruh rakyat disatu desa atau kampung di Karo. Menari secara massal, orang tua, muda-mudi, pejabat maupun pengusaha, dengan penyanyi + perkeybord, dan umumnya para perantau juga pulang kampung ketika itu. Saya dan teman-teman memahami dan menyetujui sepenuhnya ide Pak Dubes untuk mengatur pelaksannaan Guro Aron di Swedia atau di Finlandia, karena acara kultur daerah ini juga tidak kalah pentingnya dengan acara kultur nasional maupun internasional lainnya.

Acara pengenalan dan pertukaran kultur/budaya dalam tingkat internasional telah merupakan bagian yang sangat penting dari soft power diplomacy dunia terakhir ini. Di negeri multi-etnis dan multi kultur seperti Indonesia juga tidak kalah pentingnya kegiatan pendekatan dengan cara soft power ini demi mempererat kerjasama serta memperdalam saling mengerti dan saling menghormati antara berbagai etnis dan kultur negeri kita. Dengan begitu juga akan bermanfaat untuk saling mempengaruhi dan saling mendorong semangat dalam mengembangkan dan memajukan daerah-daerah yang dihuni oleh berbagai kultur dan budaya. 


Sukuisme?
Kalau dulu pemikiran begini dituduh atau dicemohkan dengan istilah ’sukuisme’, artinya dulu tidak bagus dipandang mata maupun didengar. Sekarang adalah bagus dan juga perlu, karena akan menjadi salah satu syarat penting untuk bisa saling mengakui dan saling mengerti sesama etnis Indonesia demi adanya kedamaian antara berbagai kultur. “Ethnic solidarity fulfills the individual‘s need for identity, affiliation, and self-esteem, which in turn, enhance a sense of security.“ kata professor Ruth Lapidoth dalam bukunya:  Autonomy: Flexible Solutions to Ethnic Conflicts, 1996.
Mengakui dan menghormati identitas etnis tertentu atau kultur tertentu adalah syarat utama kedamaian dan perdamaian dalam era sekarang ini, yaitu era The Clash of Civilization (Huntington) atau The Clash of Emotion (Moisi), atau kalau dipadukan jadi satu nama pastilah lebih dekat dengan kenyataan sehari-hari yaitu menjadi The Emotional Clash of CivilizationsKonflik Perasaan antara berbagai sivilisasi atau berbagai kultur atau berbagai etnis telah merupakan kata terakhir dalam tingkat perkembangan sejarah kemanusiaan dalam abad ini.  
Lebih tegas lagi Erik Lane menulis dalam bukunya Globalization and Politics: "the focus is almost exclusively at ethnics and not nation" . . . "Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture."


Dalam hubungan ini Juara R. Ginting pernah mengatakan: "Bermainlah cantik hai kawan-kawan. Titik berpijak kita adalah Karo. Bila kam alergi terhadap politik, maka kam akan menjadi korban politik". Atau seperti yang dikatakan oleh seorang professor sejarah Jerry Muller dari Universitas Katholik USA: "Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape the world in the twenty first century." Walaupun kata Muller persoalan ini (ethnonationalism, sukuisme) bagi kita telah bikin ‘rasa tak enak’ secara intelektual maupun moral. Lebih jauh lagi ialah bahwa ethnonationlism atau sukuisme bukanlah produk dari alam tetapi dari kultur.
”Pelestarian budaya dan kultur” yang selama ini hanya menjadi semboyan kosong dan tak dimengerti, sekarang kelihatannya sudah menjadi kenyataan yang menuntut pengertian bukan hanya secara teori tetapi paling penting dalam praktek kehidupan sehari-hari. Pertama ialah bahwa dengan syarat pengakuan dan saling menghormati sesama etnis, sehingga kultur yang berbeda-beda akan bisa menjadi landasan kebersamaan, dan yang kedua ialah dengan menggali dan memanfaatkan potensi budaya dan kulturnya pastilah setiap daerah akan lebih terdorong untuk membangun dan memajukan daerahnya. Kemajuan dan perkembangan tiap daerah dan semua daerah, itulah  yang akan menentukan kemajuan dan perkembangan Indonesia sebagai satu nation, satu nation dari berbagai ragam kultur dan budaya.    
Dengan begitu maka sukuisme atau etnonationalisme sekarang adalah baik dan juga adalah jalan terbaik mencapai keadilan dan kebahagiaan dunia dalam era The Emotional Clash of Civilizations.
                                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar