Senin, 19 November 2012

Kolom Ita Apulina Tarigan: KUNO TAPI GAYA





Pengantar untuk ceramah di Akademi Berbagi
(Medan) [Rabu 13/11 Malam]


Di tengah dunia yang semakin mengglobal, kerap kita mendengar teriakan untuk kembali ke akar budaya, tidak terikut dan tergilas budaya modern. Menurut mereka, salah satu tameng yang pas adalah mempelajari dan mensosialisasikan kembali kebudayaan sendiri. Kelihatanya memang logis dan bisa dilakukan. Tetapi, kenyataannya tidak seindah jargon yang dihembuskan.



Pertama dulu yang perlu disetting ulang adalah cara berpikir. Budaya lokal manakah yang dimaksud dengan ‘kebudayaan sendiri’? Ketika kita berbicara soal budaya sendiri, sudah banyak persepsi yang tercampur di situ, sehingga yang sering muncul ke permukaan adalah budaya yang sudah terkontaminasi pandangan-pandangan ala kita. Bukan bagaimana adanya budaya itu.
Di sinilah selalu terjadi benturan, baik yang keras maupun yang tidak frontal. Umumnya yang terjadi adalah mayoritas mengalahkan minoritas dengan alasan kepantasan. Belum lagi jika dibandingkan dengan keengganan banyak dari kita yang tidak mau lagi bersusah-susah dengan ribetnya budaya. Ini adalah cara pandang sebagian dari kita yang menganggap budaya sudah kuno dan ketinggalan jaman. Tidak bisa mengikuti modernisasi.









Kali ini, saya mengajak kita melihat perjalanan sebuah kelompok musik tradisi Karo yang total dalam mempelajari tradisi dan penampilannya. Namanya Sanggar Seni Sirulo. Sanggar ini khusus menggeluti kesenian tradisional Karo. Mulai dari musik, tari, pakaian hingga skenario. Walau berkecimpung dengan hal-hal tradisi, para anggota sanggar ini adalah anak-anak muda yang tidak malu berpenampilan kuno.














Musik yang dipilih sudah jelas tradisi yang dimainkan langsung dengan alat-alat musik tradisi. Tarian juga menggali tarian tradisi, kostum diusahakan setradisional mungkin dan skenario pertunjukan selalu hasil riset berdasarkan fakta lapangan dan catatan-catatan terdahulu. Sehingga, kesan yang ditimbulkan sanggar ini sangat tua sekali, jauh dari bayangan umum tentang Karo selama ini.





 












Para anak muda yang bergabung di dalamnya berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang anak band, yang tentu saja sangat pop dan jauh dari tradisi. Ada yang sama sekali belum pernah mengenal kesenian tradisi. Tapi, keinginan untuk belajar dan ketertarikan membuat mereka bisa melebur dalam budaya tradisi.



Tantangan untuk membuat para kawula muda tertarik adalah bagaimana kita menunjukkan tradisi itu tidak sulit dan bisa dikerjakan oleh siapa saja. Selama ini, salah satu keengganan terbesar untuk belajar tradisi adalah kesan yang namanya tradisi itu rumit dan ruwet, hanya pantas dilakoni mereka yang sudah berumur. Ternyata, jika bisa ditunjukkan bagaimana tradisi adalah bagian dari kehidupan kita dan tidak serumit yang mereka bayangkan, ditambah lagi dengan kesan bahwa mentradisi bukan berarti kuno dan tidak gaul, kelihatannya makin banyak anak muda yang tertarik untuk belajar. Saat ini sudah mulai bermunculan kelompok-kelompok sejenis yang konsen kepada kesenian tradisi.


Bagaimana Sanggar Seni Sirulo merealisasikan visi dan missinya demi kelangsungan tradisi Karo, khususnya seni pertunjukan, adalah topik kita malam ini.