Oleh: Nancy Meinintha Brahmana
Melewati jalan yang meliuk turun setelah memasuki Simpang Merek (Kec. Merek, Kab. Karo), saya terpana melihat pemandangan alam yang disuguhkan oleh bebukitan Tongging dan panorama Danau Toba. Bebukitan semakin gundul bagaikan orang tua yang sudah lanjut usia. Beberapa ruas tampak sisa-sisa lahan yang terbakar. Tanah di bebukitan itu tampak berbeda sekali dengan tanah yang ada di daerah lain di Kabupaten Karo pada umumnya.
Melewati jalan yang meliuk turun setelah memasuki Simpang Merek (Kec. Merek, Kab. Karo), saya terpana melihat pemandangan alam yang disuguhkan oleh bebukitan Tongging dan panorama Danau Toba. Bebukitan semakin gundul bagaikan orang tua yang sudah lanjut usia. Beberapa ruas tampak sisa-sisa lahan yang terbakar. Tanah di bebukitan itu tampak berbeda sekali dengan tanah yang ada di daerah lain di Kabupaten Karo pada umumnya.
Sejenak kami beberapa orang yang berada di mobil Kijang sempat memperbincangkan adanya ledakan dahsyat pada jaman dahulu yang terjadi di pegunungan Toba sehingga terjadi kawah luas yang menjadi Danau Toba sekarang. Sayangnya, tak ada seorangpun ahli sejarah di atas mobil itu sehingga diskusi mengenai ledakan gunung tidak berlangsung lama. Akhirnya, pembicaraan lanjut ke soal politik yang sedang hangat sekarang ini. Percakapan itu lebih tahan lama.
Memasuki Desa Tongging (Kec. Merek), jalanan menjadi sangat jelek dan rusak. Kering dan berdebu. Beberapa lahan ditanami bawang atau tomat. Beberapa pokok ‘mangga Haranggaol’ tumbuh liar di sepanjang jalan. Burung-burung camar putih berulang mengepakkan sayapnya di atas danau dan sesekali bergayut manja di tepian karamba ikan nila. Sambil menunggu ikan ditangkap dan disuguhkan, pikiran saya melayang….
Alangkah sayangnya asset berharga dan sangat mahal ini dibiarkan saja oleh pemerintah. Bukannya memerlukan biaya mahal untuk menjadikan Tongging itu indah. Tongging sudah mempunyai keindahannya tersendiri, hanya tinggal polesan sederhana seperti memoles wajah perempuan yang cantik namun polos, tidak susah. Saya membayangkan di bebukitan batu itu tertancap indah baling-baling angin berwarna-warni, kuning, merah, biru, hijau, hitam, putih, oranye, semua warna diberikan untuk baling-baling angin tadi, menambah keindahan dan kesejukan Tongging, sedikit mencontoh dari negeri Paman Sam. Di sepanjang jalan yang meliuk itu, sedikit naik ke atas, alangkah indahnya apabila ditanami bougenvile warna-warni pula. Untuk di danau, saya menyebutnya pada ‘Hari Tourist’ yakni Sabtu dan Minggu, dibuatlah event ‘Hari Pasar Danau Tongging’. Dalam hal ini, saya mencontoh sedikit suasana Sungai Musi atau Sungai Kapuas, meski tidak semeriah itu, hanya pasar ikan, membeli dan memanggangnya di tengah danau, di atas sampan.
Membaca tentang Tanah Arab yang dulunya tandus namun kini bisa dirancang indah tanpa harus kekurangan air. Di sini segalanya ada, namun malas berpikir dan malas susah. Tidak mau menguras tenaga dan pikiran namun kantung terisi. Itulah yang dikejar dan diusahakan setiap hari. Bagaimana obyek pariwisata kita bisa mengundang wisatawan kalau begini? Saya membayangkan kalau air dinaikkan melalui pipa-pipa ke atas bukit-bukit itu lalu dibuat seperti air pancur yang berwarna-warni, tidak perlu terlalu sering, mungkin hanya menuju malam hingga Pkl. 10.00 malam, menambah keindahan dan kesuburan tanah serta menarik bagi setiap mata yang melihat.
Bukit-bukit di seputaran Danau Toba tidaklah terlalu tinggi dan semua dapat dicapai dengan mudah. Puncak bukit juga merupakan dataran yang cukup landai. Tempat seperti itu dapat menjadi landasan terbang layang mengitari Danau Toba. Bisa juga terbang layang dari pantai lalu ditarik oleh speedboat. Ah, segalanya bisa dilakukan kalau kita mempunyai kemauan. Tidak mungkin pemerintah tidak mempunyai anggaran untuk memajukan pariwisata.
Saya menghela nafas. Mimpi, kata saya membatin. Saya merasa Tongging seperti anak tiri, anak terbuang, melupakan bahwa si anak tadi adalah anak pintar, tangguh dan gagah. Namun, saya membesarkan hati, selama masih ada kehidupan berarti masih ada harapan, bahwa perubahan yang baik pasti terjadi, begitu juga dengan Tongging, bagian dari Bumi Turang.
Kiranya melalui tulisan ini mengingatkan dan menyadarkan kita sebagai warga Karo untuk tidak melupakan Tongging. Bersama memajukan daerahnya, bukan hanya dengan villa-villa, namun menggalakkan alam agar semakin indah dan nyaman sehingga nama Bumi Turang, Taneh Karo Simalem semakin harum terdengar.