Kolom Juara R. Ginting: Tim Tradisional
Sesuatu bawa khayalku berkilas ke selepas siang di tahun 77. Masih duduk di bangku kelas satu SMA diriku saat itu. Berada di tepi lapangan bola Pasar II Titi Rante (Medan) bersama beberapa teman.
Sesuatu bawa khayalku berkilas ke selepas siang di tahun 77. Masih duduk di bangku kelas satu SMA diriku saat itu. Berada di tepi lapangan bola Pasar II Titi Rante (Medan) bersama beberapa teman.
Sambil menunggu yang lain datang bermain bola, aku usul untuk bersama membentuk klub bola kaki. Terik masih menyengat kantuk siang. Wajah-wajah mereka bergeming pelan ke arahku. Melirik sipit. Oh, mereka tidak tertarik, pikirku. Lalu, sambil berusaha mencabut padang teguh di sampingku, perlahan kugambarkan sebuah khayal. Kalau saja kita punya klub, kita mengadakan turnamen sepak bola, kataku. Satu dua wajah berpaling cepat ke arahku. Mengadakan sebuah turnamen sepak bola tingkat kecamatan bukanlah pekerjaan sulit, lanjutku. Beberapa teman mulai memutar duduk berhadapan denganku.
“Bagaimana tidak sulit?” Tanya seorang yang berusia paling tua. Cukup menyediakan hadiah pertama, ke dua dan tiga. Kita sebar pengumuman dan kutip uang pendaftaran, jawabku. Mereka jadi sangat tertarik. Rupanya, mereka melihat hal-hal yang mendukung rencana. Satu per satu mereka papar alasan mengapa rencana itu memang dapat dilaksanakan. Sekarang, bukannya aku yang harus meyakinkan mereka. Sebaliknya, mereka yang memperjelas operasional rencana untuk dikerjakan bersama.
Klub terbentuk. Namanya Kestira, Kesebelasan Titi Rante. Turnamen diikuti 15 klub dari seluruh Kec. Medan Baru. Hadiah-hadiah didapat dari sumbangan camat, kepala desa, dan koramil. Setiap sore lapangan menjadi pusat hiburan tua muda, laki perempuan. Selama 2 minggu.Warung-warung musiman berjejer sekeliling lapangan.
Ada peristiwa kecil yang kami tak bisa lupa dari turnamen itu. Dua letusan senjata api mengejutkan semua orang. Beberapa detik berselang, seorang preman paling disegani di daerah itu digiring polisi dengan tangan terborgol. Mengenang ini, kami sering berucap: “Bos premanpun terlupa sedang buron karena asyik menonton pertandingan.”
“Kalian tau apa yang membuat Kestira enak ditonton?” Tanya preman itu kepada kami suatu hari, sesaat dilepas dari tahanan Polsekta Medan Baru. “Ikut sertanya beberapa anak putus sekolah di tim kalian. Mereka seperti kawakan sekali bermain bola. Padahal sehari-harinya mereka merokok, begadang dan minum-minum. Bagaikan magic, tim kalian menundukan tim-tim tangguh seperti halnya anak-anak asrama Kavaleri itu,” urainya sambil memesan minuman kami ke Nd Gantang, pemilik warung.
“Bukan magic, kuncinya sederhana, bang,” kataku menimpali. Rata-rata kita ini bermain bola sejak kecil, kataku mengawali uraian. Kekurangan kita, jarang sekali tergalang dalam tim. Kita sering menggunakan dua gawang, memang. Tapi, lain teman setim hari ini, lain pula esoknya. Kemarin lawan, hari ini kawan, atau sebaliknya. Instink bermain dalam tim tidak terasah. Kelemahan ini dapat diatasi dengan sikap toleran. Tidak terlalu menuntut dan membesar-besarkan kelemahan teman setim, uraiku.
Kunci ke dua, sambungku, setelah melihatnya serius mendengar. Untuk permainan bola tingkat kampung, banyak orang buang tenaga sia-sia. Terus-terusan bergerak sibuk, tergopoh-gopoh, tanpa fantasi dan imaginasi di kepala. Permainan begini tidak perlu dihadapi rajin. Cukup berdiri di depannya dengan tenang. Sering kali pemain seperti ini terjungkal sendiri meski tak ada yang sentuh. Biarkan pemain/ tim lawan dikalahkan oleh dirinya sendiri. Itu inti kunci ke dua, ujarku sambil menatap wajahnya yang tercenung, seolah sedang membanding antara magic dengan pemahaman akan kenyataan.
“Itu instruksi yang kau berikan kepada pemain?” Tanyanya mendadak. Gelagapan aku dia sebut instruksi. Aku hanyalah satu diantara 18 pemain dan termasuk golongan termuda di dalam tim. Satu-satunya keistimewaanku adalah posisi penjaga gawang. Untung saja di meja sebelah ada yang menghentak buah catur sambil berseru: Jaga menterindu, kalimbubu!” Serentak perhatian kami beralih ke sana. Tak kujawab pertanyaannya.
* * *
Soal tim. Itu yang bawa aku ke kenangan tadi. Semangat mencuat tanjak saat tiba pada ide turnamen, terjun ke panggung sesungguhnya. Tak sekedar berlatih dan berlatih, merancang dan merancang, berpetuah dan petuah. Pemain, yang juga panitia, berkesempatan menunjukan keistimewaan masing-masing, baik dalam bermain maupun sebagai panitia.
Bukan hanya kami yang menjadikannya sebagai panggung. Diantara 15 klub peserta, hanya dua yang telah berdiri sebelum turnamen, yaitu dari Desa Karang Sari (dekat landasan Polonia) dan anak-anak asrama Kavaleri. Selebihnya, terbentuk setelah menerima selebaran undangan turnamen. Warga sekitar menikmati tontonan dan keramaian atau membuka warung musiman. Anak putus sekolah dan pengangguran dapat menjemput kebanggaannya kembali, menunjukan keunikannya untuk tujuan dan kenikmatan bersama.
Lahirnya surat kabar kita Sora Sirulo ini dorong aku mengkilasbalik peristiwa itu. Banyak persamaan. Terutama dalam soal ‘kerinduan bukan sekedar merindukan’. Dia adalah endapan rindu panjang masyarakat sekitarnya. Tidak hanya di kota-kota, tapi juga di kampung-kampung dan, bahkan, kalak Karo sebelang-belang dauni.
Satu lagi persamaannya, ini adalah tim tradisional yang terpelajar. Ada kesamaan dalam spirit melahirkan satu tim yang piawai. Namun, itu pulalah perbedaannya dengan Kestira yang telah bubar. Sora Sirulo hendak melahirkan sebuah group jurnalistik yang piawai dan tim Sora Sirulo diharapkan berkembang terus.
“Bagaimana tidak sulit?” Tanya seorang yang berusia paling tua. Cukup menyediakan hadiah pertama, ke dua dan tiga. Kita sebar pengumuman dan kutip uang pendaftaran, jawabku. Mereka jadi sangat tertarik. Rupanya, mereka melihat hal-hal yang mendukung rencana. Satu per satu mereka papar alasan mengapa rencana itu memang dapat dilaksanakan. Sekarang, bukannya aku yang harus meyakinkan mereka. Sebaliknya, mereka yang memperjelas operasional rencana untuk dikerjakan bersama.
Klub terbentuk. Namanya Kestira, Kesebelasan Titi Rante. Turnamen diikuti 15 klub dari seluruh Kec. Medan Baru. Hadiah-hadiah didapat dari sumbangan camat, kepala desa, dan koramil. Setiap sore lapangan menjadi pusat hiburan tua muda, laki perempuan. Selama 2 minggu.Warung-warung musiman berjejer sekeliling lapangan.
Ada peristiwa kecil yang kami tak bisa lupa dari turnamen itu. Dua letusan senjata api mengejutkan semua orang. Beberapa detik berselang, seorang preman paling disegani di daerah itu digiring polisi dengan tangan terborgol. Mengenang ini, kami sering berucap: “Bos premanpun terlupa sedang buron karena asyik menonton pertandingan.”
“Kalian tau apa yang membuat Kestira enak ditonton?” Tanya preman itu kepada kami suatu hari, sesaat dilepas dari tahanan Polsekta Medan Baru. “Ikut sertanya beberapa anak putus sekolah di tim kalian. Mereka seperti kawakan sekali bermain bola. Padahal sehari-harinya mereka merokok, begadang dan minum-minum. Bagaikan magic, tim kalian menundukan tim-tim tangguh seperti halnya anak-anak asrama Kavaleri itu,” urainya sambil memesan minuman kami ke Nd Gantang, pemilik warung.
“Bukan magic, kuncinya sederhana, bang,” kataku menimpali. Rata-rata kita ini bermain bola sejak kecil, kataku mengawali uraian. Kekurangan kita, jarang sekali tergalang dalam tim. Kita sering menggunakan dua gawang, memang. Tapi, lain teman setim hari ini, lain pula esoknya. Kemarin lawan, hari ini kawan, atau sebaliknya. Instink bermain dalam tim tidak terasah. Kelemahan ini dapat diatasi dengan sikap toleran. Tidak terlalu menuntut dan membesar-besarkan kelemahan teman setim, uraiku.
Kunci ke dua, sambungku, setelah melihatnya serius mendengar. Untuk permainan bola tingkat kampung, banyak orang buang tenaga sia-sia. Terus-terusan bergerak sibuk, tergopoh-gopoh, tanpa fantasi dan imaginasi di kepala. Permainan begini tidak perlu dihadapi rajin. Cukup berdiri di depannya dengan tenang. Sering kali pemain seperti ini terjungkal sendiri meski tak ada yang sentuh. Biarkan pemain/ tim lawan dikalahkan oleh dirinya sendiri. Itu inti kunci ke dua, ujarku sambil menatap wajahnya yang tercenung, seolah sedang membanding antara magic dengan pemahaman akan kenyataan.
“Itu instruksi yang kau berikan kepada pemain?” Tanyanya mendadak. Gelagapan aku dia sebut instruksi. Aku hanyalah satu diantara 18 pemain dan termasuk golongan termuda di dalam tim. Satu-satunya keistimewaanku adalah posisi penjaga gawang. Untung saja di meja sebelah ada yang menghentak buah catur sambil berseru: Jaga menterindu, kalimbubu!” Serentak perhatian kami beralih ke sana. Tak kujawab pertanyaannya.
* * *
Soal tim. Itu yang bawa aku ke kenangan tadi. Semangat mencuat tanjak saat tiba pada ide turnamen, terjun ke panggung sesungguhnya. Tak sekedar berlatih dan berlatih, merancang dan merancang, berpetuah dan petuah. Pemain, yang juga panitia, berkesempatan menunjukan keistimewaan masing-masing, baik dalam bermain maupun sebagai panitia.
Bukan hanya kami yang menjadikannya sebagai panggung. Diantara 15 klub peserta, hanya dua yang telah berdiri sebelum turnamen, yaitu dari Desa Karang Sari (dekat landasan Polonia) dan anak-anak asrama Kavaleri. Selebihnya, terbentuk setelah menerima selebaran undangan turnamen. Warga sekitar menikmati tontonan dan keramaian atau membuka warung musiman. Anak putus sekolah dan pengangguran dapat menjemput kebanggaannya kembali, menunjukan keunikannya untuk tujuan dan kenikmatan bersama.
Lahirnya surat kabar kita Sora Sirulo ini dorong aku mengkilasbalik peristiwa itu. Banyak persamaan. Terutama dalam soal ‘kerinduan bukan sekedar merindukan’. Dia adalah endapan rindu panjang masyarakat sekitarnya. Tidak hanya di kota-kota, tapi juga di kampung-kampung dan, bahkan, kalak Karo sebelang-belang dauni.
Satu lagi persamaannya, ini adalah tim tradisional yang terpelajar. Ada kesamaan dalam spirit melahirkan satu tim yang piawai. Namun, itu pulalah perbedaannya dengan Kestira yang telah bubar. Sora Sirulo hendak melahirkan sebuah group jurnalistik yang piawai dan tim Sora Sirulo diharapkan berkembang terus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar