Oleh: Sjahrazad Monchu Alamsjah
Michael Mobbs, seorang pengacara lingkungan tinggal. di rumah tua di daerah padat Sydney. Tahun 1996 dia mulai merenovasi bangunan yg sudah berumur 100 tahunan berupa rumah dua lantai dan hanya memiliki pekarangan yang sangat terbatas. Dengan dana $48,000 dia membangun sistem daur ulang pemanfaatan tenaga surya, air dan air limbah agar dia terbebas dari kewajiban membayar kepada negara untuk mendapat sarana tersebut. Bukan itu saja, setiap pojok lahan sempit yang tersedia dia olah menjadi tempat sayur mayur untuk hidup sehari-hari beserta satu pojok untuk seekor ayam yang menghasilkan telor.Dana di atas bila dikonversi ke rupiah memang mahal, tapi sebenarnya tidak begitu. Di Australia biaya terbesar adalah upah kerja yang bisa mencapai 60% dari total biaya. Harga bahan bahan pada umumnya relatif murah bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata. Karena itu, kebanyakan mereka selalu mengerjakan sendiri dalam hal pemeliharaan rumah.
Masalahnya semua pekerjaan yang bersifat instalasi tidak boleh dikerjakan sendiri harus dilakukan oleh tukang yang memiliki sertifikasi, karena ini terkait dengan perijinan dan asuransi. Upah tukang ledeng sekitar $150 per jam walau sekedar diminta datang untuk memeriksa rumah. Income mereka pertahun melebihi income orang berdasi yang bekerja dikantoran.
Apa yang dilakukan si oom Michael ini, bisa menjadi inspirasi bagi para insinyur, arsitek muda, termasuk institusi profesi di Indonesia. Indonesia yang berada di wilayah tropis dengan energi matahari berlimpah, curah hujan yang tinggi dan tanah subur, yang tidak butuh pengolahan khusus, tentunya bisa berbuat banyak selama memiliki inovasi dan kemauan ke arah sana; yakni mengembangkan hunian daur ulang yang terjangkau bagi kalangan menengah.
Sebagai individu, lupakan idealisme membantu kaum miskin, itu gunanya ada negara. Idealisme itu juga hanya slogan para penyiar agama, konon orang miskin disayang Tuhan. Adalah aneh bin ajaib mayoritas orang miskin di dunia, walau disayang Tuhan, yang jelas hidupnya menderita dari tahun ke tahun.
Yang kudu kita lakukan adalah mengembangkan kesadaran komunitas kalangan menengah agar menjadi komunitas mandiri. Paling tidak, bagaimana 40% hingga 60% biaya sehari-hari bisa diperoleh dari daur ulang yang tersedia berlimpah di tanah tercinta ini, Indonesia. Kalau kalangan menengah ini senang hidupnya, secara otomatis kalangan yang miskin akan mendapatkan imbas karena roda ekonomi tetap bisa berputar.
Di sekolah, kita tidak dididik untuk mandiri melainkan menjadi budak sistem. Karena itu, kita tidak melihat bahwa dinding gedek itu bagus. Selain murah, gedek itu juga simbolik dengan kemiskinan. Paradigma itu yang kudu dibuang ke tempat sampah. Gedek itu mampu mengalirkan angin sepoi-sepoi dan yang namanya sepoi- sepoi itu selalu nyaman. Sebenarnya ada berjuta contoh bagaimana kita sebenarnya terperangkap di dalam sebuah ‘nilai’. Padahal, untuk keluar dari sana, hanya membutuhkan sedikit perubahan cara pandang. Sangat sederhana sebetulnya.
Salah satu yang bisa mulai dikembangkan adalah air kencing. Dari tradisi spiritual jadul konon di air urine ini sebenarnya ada rahasia terpendam, energi murni yang bermanfaat. Tapi jangan dikira air urine ini bagus langsung ditenggak, tidak begitu. Perlu ada proses daur ulang sehingga energi murni itu bisa disaring, baru siap untuk dikonsumsi.
Ada banyak yang bisa dibagi ke kita semua. Sebagai penutup, sekali lagi, dua hal yang kita perlu perjuangkan. Pertama, memaksa pemerintah menurunkan harga listrik dan internet di kampung kampong. Hanya dengan cara ini swadaya masyarakat dalam penyebaran edukasi dan informasi bisa berkembang. Ke dua, seperti saran kelompok Anonymous di seluruh dunia, kita harus menolak setiap rencana pemerintah manapun di dunia untuk melakukan sensor serta mengatur informasi di Internet. Internet adalah negara bagi kita semua, mahluk manusia yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar